PAMIT!!

Aku mengetik tulisan ini dalam keadaan jemari yang bergetar, isi kepala yang akan pecah, dada yang sesak dan mata yang hujan entah dari mana. Aku pikir perjalananku sudah mencapai cukup atau paling tidak hampir, tapi ternyata langkah-langkah yang aku tuju masih jauh, bahkan mungkin salah arah.

Aku mengetik tulisan ini dalam keadaan tubuh yang ingin mati, kepala ingin sekali memaki, dan hati yang ingin sekali ditusuk berkali-kali. Aku pikir, bahagiaku sudah cukup atau paling tidak aku tak akan pernah terluka, tapi ternyata ekspektasiku terlalu berlebihan. Aku patah sedangkan aku masih salah arah.

Aku mengetik tulisan ini untuk mundur, dari hati yang sudah terlanjur dan cinta yang tak begitu mujur.

Aku pamit.
Menjadi yang terbaik dan menyenangkan adalah hal yang sia-sia.

Sebuah Keputusan

Tulisan ini adalah sebuah keputusan untuk membalas isi kepala seseorang yang sedang menjadikan aku tujuannya. : Tentang Pernikahan

 —-

Hidupku tak pernah dihadapkan dengan pilihan-pilihan, sampai pada suatu waktu aku menemukan sebuah keputusan, pertimbangan, dan kepastian. Aku tak pernah ragu, walaupun jalannya sedikit rumit, tapi kutahu pasti aku sedang mengambil jalan yang tepat, berdampingan dengan seseorang yang nantinya jadi tempat merehatkan penat.

Pada akhirnya perjalananku dan dia sampai pada suatu titik– tentang pernikahan.

Ahhh, segalanya abu-abu bagiku dulu, tak pernah tampak di bayangan, bukan jadi tujuan, dan belum pernah terpikirkan bagaimana caranya menjadi seorang suami sekaligus ayah yang akan membimbing keluarganya. Tidak, tak pernah aku bayangkan, paling tidak belum.

Apakah aku pantas?
Apakah aku bisa membimbing seorang istri?
Apakah aku siap menanggung beban tanggung jawab?
Apakah aku akan diterima oleh keluarga pasangan?

Begitu banyak ‘apakah’ atau ‘bagaiamana’ di dalam kepala, sehingga bayangan tentang pernikahan, jauh dari kata ingin, paling tidak belum.

Paling tidak belum, pada akhirnya aku dihadapkan lagi dengan keputusan.

Di mana ketika menatap matanya, aku berkata ingin.
Di mana ketika diyakinkan kata-katanya, aku siap.
Di mana ketika aku merasakan caranya dia mencintaiku, aku yakin.
Di mana ketika setiap bersamanya, kita nyambung.
Di mana setiap obrolan selalu melahirkan tawa.

Begitu banyak hal baru yang kurasakan ketika bersamanya dan membuatku sadar yang aku cari selama ini ternyata bukan hanya pendamping tapi bagaimana aku bisa hidup dengan seseorang dengan cerita-cerita yang panjang.

Dan Begitu banyak ‘ketika’ di dalam kepala, sehingga bayangan tentang keputusan, membuatku aku yakin, dia adalah orang yang telah disediakan Tuhan untuk membahas tentang pernikahan.

“Terima kasih Tuhan, aku siap”

Amarah

Aku sedang iri dengan cermin di kamarmu, menatapmu lebih sering dari aku yang mencintaimu. Aku sedang mengecam langit-langit rumahmu, selalu ada menyediakan tempat air matamu berteduh. Aku sedang marah dengan sepasang lengan ini, yang dulu sempat memelukmu lalu melupakan. Aku benci dengan waktu, ia tak pernah mengizinkan kembali pada masa lalu, tepat sebelum kubuat kau kecewa.

Perasaan-perasaan amarah di atas kepala ini sedang memaki diri sendiri, mengeluarkan pertanyaan sedang apa kau di sana? apakah dilukai oleh aku kau mampu lebih baik lagi memilih seseorang yang baru? apakah pertikaian kita yang lalu membuatmu mendoakanku semenderita ini?

Cintai kekasihmu seperti kau mencintai aku dulu. Dicintaimu, membuat seseorang seperti aku menyesal ditinggalkan.

Semoga kau baik-baik saja dengan dia, agar kisah ini aku anggap cara Tuhan memilihkanmu bahagia lainnya.

image by : canva.com

Aku Berhenti Menulis

Aku pikir selama ini aku hanya satu-satunya, aku pikir aku spesial karena cuman satu-satunya diucapkan selamat pagi, aku pikir cuman aku yang diberi kabar dan pada akhirnya, aku berhenti menulis tentang seberapa pentingnya aku di hidupmu.

Aku sudah terlanjur menjadikan kau satu-satunya, aku sudah terlalu jauh berusaha membuatmu nyaman setiap pagi, aku sudah terlalu sering memberi kabar pada resah di dadamu dan pada akhirnya, aku berhenti menulis tentang seberapa pentingnya kamu di hidupku.

Aku berhenti menulis, tentangmu.
Aku tak ingin mengabadikan kesalahanku mencintaimu dalam bentuk tulisan.

Dan tolong bantu aku, untuk tidak berhenti menulis, tentangmu.

 

image by : canva.com

poesikis #3

Di sisa ingatan
kubiarkan rindu hidup
menjadi teman dalam kepala
di ruang sempit yang penuh derita

Di langkah kaki
kubiarkan angin menyapu
menghapus jejak
menghilangkan sesak
sebab menunggu yang tak pasti
aku harus berdamai dengan diri sendiri

Jika kelak
pulang menemuiku
tak usah khawatir
sebab di rumah ini
tak kubiarkan pintu meliburkan diri

Memori Sebuah Janji

Tiap pagi membuka mata dalam sebuah ruangan kecil, dengan dinding bewarna abu-abu, meja berantakan oleh kertas dan sedikit basah oleh tetesan air, lalu pena yang tintanya masih utuh dan satu set alarm yang masih aktif berdering membangunkanku dari mimpi panjang. Ingatan ini sudah tak lagi berkerja dan hendak mengundurkan diri dari cangkang kepala.

Ternyata melupakan sesakit ini, aku tak bisa menghindar untuk menunggu janji ini hadir jadi nyata tapi yang ada hanya jatuh korban dari isi kepala, pecah dan memulangkan ingatan ingatan pilu. Mungkin barangkali begitulah kerja hati, mengelabui otak bahwa sebenarnya menunggu itu menyenangkan tapi pada akhirnya, akulah korban sebenarnya, terjebak di memori sebuah janji.

– Juli, 2107

Negeri di atas Awan

Apa yang lebih menyenangkan dari jatuh cinta? Mempertahankanmu dengan cara-cara yang aku perjuangkan. Jika langit memiliki awan, burung mempunyai suara merdu dan lautan meneduhkan bagi ikan maka, aku sedang mencintaimu dengan teramat senang. Lewat sebuah pesan, kata-kataku hanya selalu ingin dialamatkan di matamu, dia ingin membangun negeri di atas awan.

Bayangkan sebuah istana dengan taman yang luas, di sana anak-anak rindu kita menjadi dewasa, tumbuh melewati berbagai macam masalah dan tetap kuat untuk tetap saling jatuh cinta. Di negeri atas awan tak pernah jatuh hujan, tak pernah menjadi mendung dan gelap, hanya ada pagi, siang dan senja menyediakan secangkir waktu yang kita sesap tapi tak pernah habis.

Di negeri atas awan, waktu adalah abadi, kita adalah janji dan masalah adalah pertualangan Sang Raja yang harus dihadapi. Ingat, negeri di atas awan bukanlah mimpi.

poesikis #2

Akan datang di mana perjuangan hanya lahir
tak pernah mati, tak pernah hidup sebagai takdir
Di dada seorang penyair perjuangan ada sebagai kata-kata
tak pernah tumpah ataupun keluar mencari jawaban tanya

Aku bertengkar dengan isi kepala
mencoba mengingat segalanya
tentang untuk siapa aku berjalan
perihal siapa yang aku pertahankan

Aku menjadikan langit musuh
menjatuhkan hujan
menghilangkan jejak di jalan
barangkali di mataku
akan selalu ada menatap yang baik di masa depan

Amarah di atas Kepala

Aku sedang iri dengan cermin di kamarmu, menatapmu lebih sering dari aku yang mencintaimu. Aku sedang mengecam langit-langit rumahmu, selalu ada menyediakan tempat air matamu berteduh. Aku sedang marah dengan sepasang lengan ini, yang dulu sempat memelukmu lalu melupakanmu. Aku tak mengenal waktu lagi, ia tak pernah mengizinkanku kembali pada masa lalu, tepat sebelum kubuat kau terluka.

Perasaan-perasaan amarah di atas kepala ini sedang memaki diri sendiri, mengeluarkan pertanyaan sedang apa kau di sana? apakah dilukai oleh aku kau mampu lebih baik lagi memilih lelaki barumu? apakah pertikaian kita yang lalu membuatmu mendoakanku semenderita ini?

Dik, cintai lelakimu seperti kau mencintai aku dulu. Dicintaimu, membuat lelaki seperti aku menderita ditinggalkan. Semoga kau baik-baik saja dengan dia, agar kisah ini aku anggap cara Tuhan memilihkanmu bahagia lainnya.

poesikis #1

Sebuah rindu yang jatuh.
Akan selalu menemukan jalan pulang.
Menggenggam apa yang pernah hilang.
Di matamu semoga rindu tak menjadi hujan.

Sebuah rindu yang pulang.
Akan selalu menemukan tempat istirahat.
Menawarkan cerita-cerita panjang.
Hingga kantuk mata mencintai lelap.

Di matamu semoga aku bukanlah hujan.